Heboh Susu Formula Berbakteri
Friday, February 18, 2011 by Zanuar Didik Bintoro
Tulisan mas Suryo Pratomo (Tommy) ini mungkin baik untuk kita simak. Semoga bermanfaat bagi kita semua ketika menghadapi pertanyaan teman, tetangga, khalayak yang kurang memahami persoalan penelitian susu formula berbakteri. Terima kasih.
(diambil dari milis ilkomerz IPB)
Heboh Susu Formula Berbakteri - SALAH satu hal yang harus kita bisa lakukan adalah menjadikan bangsa ini sebagai masyarakat berpengetahuan. Dengan itulah maka bangsa ini akan mempunyai wawasan yang luas dan tidak terjebak dalam persoalan yang sekadar menimbulkan ingar-bingar.
Beberapa hari belakangan ini kita diramaikan oleh perdebatan berkaitan susu formula yang mengandung bakteri. Apalagi ketika Mahkamah Agung memutuskan untuk mengumumkan susu formula yang ada di pasaran, yang diduga tercemar Enterobacter sakazakii. Dengan alasan untuk kepentingan publik, maka para peneliti Institut Pertanian Bogor dan juga Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta Kementerian Kesehatan diharuskan mengumumkan secara terbuka nama susu formula yang didapati tercemar bakteri.
Kita tidak bermaksud untuk tidak menaati keputusan MA yang berkekuatan hukum tetap. Namun apa yang sedang terjadi sekarang ini tidak sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan dan kebebasan yang dimiliki oleh seorang peneliti dalam melakukan penelitian bagi kebaikan kehidupan manusia.
Mengapa kita sampai mengatakan seperti itu? Peneliti IPB yang melakukan penelitian terhadap kemungkinan adanya Enterobacter sakazakii di dalam susu formula, bukan sedang melakukan pemeriksaan terhadap susu formula yang beredar di pasaran. Peneliti itu sedang mencoba menemukan ada atau tidak bakteri sakazakii di dalam susu formula.
Dari 22 sampel yang diambil, ditemukan adanya bakteri sakazakii pada lima sampel. Langkah selanjutnya adalah mencoba mengetahui bahaya dari keberadaan bakteri sakazakii tersebut di dalam susu formula. Untuk itulah lalu dilakukan percobaan kepada mencit atau anak tikus putih.
Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2003-2006 itu kemudian dibawakan dalam forum ilmiah dengan diberi judul "Potensi kejadian Meningitis pada Mencit Neonatus akibat infeksi Enterobacter sakazakii yang diisolasi dari Makanan Bayi dan Susu Formula". Penelitian ini dipublikasikan melalui website IPB pada tanggal 17 Februari 2008.
Di kalangan para peneliti, hasil penelitian seperti ini merupakan sesuatu yang biasa. Bahkan dari debat ilmiah bisa dikembangkan lebih lanjut bagaimana misalnya mengendalikan bakteri tersebut agar tidak membahayakan kesehatan manusia. Atau kalau memang dianggap sangat membahayakan kesehatan masyarakat bisa dimasukkan sebagai usulan kepada BPOM maupun Kementerian Kesehatan untuk misalnya melakukan penelitian lebih lanjut dan bahkan mungkin melarang susu formula yang mengandung Enterobacter sakazakii untuk beredar di pasaran.
Hasil penelitian yang seharusnya didekati dari kacamata ilmiah menjadi persoalan ketika dibawa menjadi bahasan awam di ranah publik. Apalagi kemudian tidak ditempatkan konteks yang tepat bahwa yang sedang dilakukan bukanlah pemeriksaan terhadap semua produk susu formula yang ada di pasaran, tetapi pencarian terhadap ada atau tidaknya bakteri sakazakii pada susu formula.
Kesalahkaprahan ini semakin menjadi-jadi ketika dijadikan ajang untuk mencari sensasi. Penelitian ilmiah dibawa ke dalam ranah hukum. Yang lebih menyedihkan, kini persoalan dibawa lagi ke ranah politik. Anggota DPR begitu genit untuk seakan-akan membela kepentingan rakyat, tanpa mencoba memahami duduk perkara penelitian yang sebenarnya dilakukan.
Kalau persoalan ilmiah didekati dengan cara pandang yang tidak ilmiah, maka pasti yang lebih mencuat adalah kontroversi. Kalau peneliti selalu ditakut-takuti oleh cara-cara seperti itu, maka ilmu pengetahuan Indonesia tidak akan pernah berkembang. Sepanjang kita masih bersikap seperti itu, maka ilmu pengetahuan kita akan semakin jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain.
Padahal bangsa lain justru mendorong ilmuwannya untuk melakukan penelitian. Bangsa Korea misalnya sudah berhasil melakukan kloning pada hewan. Dengan dasar ilmu pengetahuan itu, maka bangsa Korea semakin melompat tinggi dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Apakah seorang peneliti bisa salah? Sebagai seorang manusia biasa, pasti peneliti bisa salah. Namun kesalahan yang dilakukan peneliti tidak bisa dikriminalkan. Kalau pun ada pelanggaran berat yang dilakukan, itu harus dinyatakan bersalah terlebih dahulu oleh Komite Etik Peneliti.
Kriminalisasi terhadap peneliti tidak bisa dibiarkan, karena itu akan mempengaruhi kemajuan bangsa ini. Orang akan malas menjadi peneliti, karena akan dihadapkan kepada hal-hal yang tidak masuk akal. Padahal menjadi seorang peneliti tidak bisa begitu saja, tetapi harus melalui jenjang profesional yang panjang.
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) harus turun tangan untuk menyelesaikan kekisruhan yang terjadi sekarang ini. AIPI tidak bisa membiarkan para peneliti kita dijadi-jadikan bulan-bulanan para politisi yang butuh panggung ataupun para petualang yang membutuhkan popularitas. AIPI harus tampil untuk mendudukkan perkara dan sekaligus mengedukasi bangsa ini.
Jangan biarkan persoalan yang berkaitan dengan bakteri pada susu formula menjadi persoalan IPB atau BPOM atau Kementerian Kesehatan semata. Ini harus menjadi persoalan AIPI, karena ini akan mempengaruhi nasib para peneliti Indonesia.
Bangsa ini tidak akan pernah mempunyai orang-orang sekelas Albert Einstein, kalau kondisinya seperti ini. Padahal dari "kegilaan" peneliti seperti itulah akan ditemukan sesuatu yang besar dan bermanfaat bagi kehidupan bangsa ini. Dari penelitian-penelitian yang jauh berwawasan ke depan akan bisa membawa Indonesia dikenal sebagai negara terkemuka, karena ilmuwan-ilmuwannya mendapat penghargaan Nobel dari hasil ketekunan melakukan penelitian.
Pilihan lain kita akan terus menjadi bangsa paria seperti sekarang ini. Bangsa yang hanya ramai dalam berwacana, namun tidak pandai dalam melakukan karya yang bermanfaat bagi kehidupan bangsa dan negaranya. Tweet
Komentar:
(diambil dari milis ilkomerz IPB)
Heboh Susu Formula Berbakteri - SALAH satu hal yang harus kita bisa lakukan adalah menjadikan bangsa ini sebagai masyarakat berpengetahuan. Dengan itulah maka bangsa ini akan mempunyai wawasan yang luas dan tidak terjebak dalam persoalan yang sekadar menimbulkan ingar-bingar.
Beberapa hari belakangan ini kita diramaikan oleh perdebatan berkaitan susu formula yang mengandung bakteri. Apalagi ketika Mahkamah Agung memutuskan untuk mengumumkan susu formula yang ada di pasaran, yang diduga tercemar Enterobacter sakazakii. Dengan alasan untuk kepentingan publik, maka para peneliti Institut Pertanian Bogor dan juga Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta Kementerian Kesehatan diharuskan mengumumkan secara terbuka nama susu formula yang didapati tercemar bakteri.
Kita tidak bermaksud untuk tidak menaati keputusan MA yang berkekuatan hukum tetap. Namun apa yang sedang terjadi sekarang ini tidak sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan dan kebebasan yang dimiliki oleh seorang peneliti dalam melakukan penelitian bagi kebaikan kehidupan manusia.
Mengapa kita sampai mengatakan seperti itu? Peneliti IPB yang melakukan penelitian terhadap kemungkinan adanya Enterobacter sakazakii di dalam susu formula, bukan sedang melakukan pemeriksaan terhadap susu formula yang beredar di pasaran. Peneliti itu sedang mencoba menemukan ada atau tidak bakteri sakazakii di dalam susu formula.
Dari 22 sampel yang diambil, ditemukan adanya bakteri sakazakii pada lima sampel. Langkah selanjutnya adalah mencoba mengetahui bahaya dari keberadaan bakteri sakazakii tersebut di dalam susu formula. Untuk itulah lalu dilakukan percobaan kepada mencit atau anak tikus putih.
Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2003-2006 itu kemudian dibawakan dalam forum ilmiah dengan diberi judul "Potensi kejadian Meningitis pada Mencit Neonatus akibat infeksi Enterobacter sakazakii yang diisolasi dari Makanan Bayi dan Susu Formula". Penelitian ini dipublikasikan melalui website IPB pada tanggal 17 Februari 2008.
Di kalangan para peneliti, hasil penelitian seperti ini merupakan sesuatu yang biasa. Bahkan dari debat ilmiah bisa dikembangkan lebih lanjut bagaimana misalnya mengendalikan bakteri tersebut agar tidak membahayakan kesehatan manusia. Atau kalau memang dianggap sangat membahayakan kesehatan masyarakat bisa dimasukkan sebagai usulan kepada BPOM maupun Kementerian Kesehatan untuk misalnya melakukan penelitian lebih lanjut dan bahkan mungkin melarang susu formula yang mengandung Enterobacter sakazakii untuk beredar di pasaran.
Hasil penelitian yang seharusnya didekati dari kacamata ilmiah menjadi persoalan ketika dibawa menjadi bahasan awam di ranah publik. Apalagi kemudian tidak ditempatkan konteks yang tepat bahwa yang sedang dilakukan bukanlah pemeriksaan terhadap semua produk susu formula yang ada di pasaran, tetapi pencarian terhadap ada atau tidaknya bakteri sakazakii pada susu formula.
Kesalahkaprahan ini semakin menjadi-jadi ketika dijadikan ajang untuk mencari sensasi. Penelitian ilmiah dibawa ke dalam ranah hukum. Yang lebih menyedihkan, kini persoalan dibawa lagi ke ranah politik. Anggota DPR begitu genit untuk seakan-akan membela kepentingan rakyat, tanpa mencoba memahami duduk perkara penelitian yang sebenarnya dilakukan.
Kalau persoalan ilmiah didekati dengan cara pandang yang tidak ilmiah, maka pasti yang lebih mencuat adalah kontroversi. Kalau peneliti selalu ditakut-takuti oleh cara-cara seperti itu, maka ilmu pengetahuan Indonesia tidak akan pernah berkembang. Sepanjang kita masih bersikap seperti itu, maka ilmu pengetahuan kita akan semakin jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain.
Padahal bangsa lain justru mendorong ilmuwannya untuk melakukan penelitian. Bangsa Korea misalnya sudah berhasil melakukan kloning pada hewan. Dengan dasar ilmu pengetahuan itu, maka bangsa Korea semakin melompat tinggi dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Apakah seorang peneliti bisa salah? Sebagai seorang manusia biasa, pasti peneliti bisa salah. Namun kesalahan yang dilakukan peneliti tidak bisa dikriminalkan. Kalau pun ada pelanggaran berat yang dilakukan, itu harus dinyatakan bersalah terlebih dahulu oleh Komite Etik Peneliti.
Kriminalisasi terhadap peneliti tidak bisa dibiarkan, karena itu akan mempengaruhi kemajuan bangsa ini. Orang akan malas menjadi peneliti, karena akan dihadapkan kepada hal-hal yang tidak masuk akal. Padahal menjadi seorang peneliti tidak bisa begitu saja, tetapi harus melalui jenjang profesional yang panjang.
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) harus turun tangan untuk menyelesaikan kekisruhan yang terjadi sekarang ini. AIPI tidak bisa membiarkan para peneliti kita dijadi-jadikan bulan-bulanan para politisi yang butuh panggung ataupun para petualang yang membutuhkan popularitas. AIPI harus tampil untuk mendudukkan perkara dan sekaligus mengedukasi bangsa ini.
Jangan biarkan persoalan yang berkaitan dengan bakteri pada susu formula menjadi persoalan IPB atau BPOM atau Kementerian Kesehatan semata. Ini harus menjadi persoalan AIPI, karena ini akan mempengaruhi nasib para peneliti Indonesia.
Bangsa ini tidak akan pernah mempunyai orang-orang sekelas Albert Einstein, kalau kondisinya seperti ini. Padahal dari "kegilaan" peneliti seperti itulah akan ditemukan sesuatu yang besar dan bermanfaat bagi kehidupan bangsa ini. Dari penelitian-penelitian yang jauh berwawasan ke depan akan bisa membawa Indonesia dikenal sebagai negara terkemuka, karena ilmuwan-ilmuwannya mendapat penghargaan Nobel dari hasil ketekunan melakukan penelitian.
Pilihan lain kita akan terus menjadi bangsa paria seperti sekarang ini. Bangsa yang hanya ramai dalam berwacana, namun tidak pandai dalam melakukan karya yang bermanfaat bagi kehidupan bangsa dan negaranya. Tweet
Related to Heboh Susu Formula Berbakteri :
Komentar:
Tags: artikel, berita
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Share your views...
0 Respones to "Heboh Susu Formula Berbakteri"
Post a Comment